Siang itu, matahari bersinar nan terik menyengat kulit. Namun memasuki SOHO (small office home office) di bilangan Matraman, suasana langsung terasa adem.
Sapaan akrab sejumlah pekerja yang terdiri dari anak-anak muda membuat suasana makin cair. Bersebelahan dengan ruang kerja, terdapat sebuah ruang pertemuan yang berlatar belakang sebuah dapur.
Di dapur ini, setiap karyawan bebas memasak makan siangnya sendiri. Di ruangan depan dapur inilah, Soegianto Widjaya mulai menuturkan jatuh bangunnya membangun bisnis rintisan di seputar masak-memasak.
Ia memulai perjalannya sebagai technopreneur pada 2010, setelah bekerja selama enam tahun di Sigma. Ketika itu, pria kelahiran Jakarta, 20 Februari 1981 ini mendirikan Sedapur.com.
Sedapur merupakan e-commerce yang menyediakan lapak maya bagi ibu-ibu untuk berjualan masakan mereka. "Kayak Tokopedia, ibu-ibu kita bikinin keranjang, pembayaran bisa tunai, bisa pakai KlikBCA, klik konfirmasi, kurir akan mengantarkan makanan besoknya," beber Soegianto tentang Sedapur.
Soegianto, yang memang menyukai kegiatan sosial, ingin bisnisnya juga punya dampak sosial. Ia ingin membantu industri rumah tangga ini. Apalagi ketika sedang booming keripik Mak Icih.
Ia penasaran karena bisnis ibu-ibu ini bisa menghasilkan omzet hingga Rp 3 miliaran sebulan. Jika makin banyak ibu memasak dan berbisnis, secara tidak langsung membantu industri pertanian.
Dalam membangun Sedapur, Soegianto tidak sendirian. Ada empat orang lain, termasuk kakaknya sendiri, Soetrisno Widjaya.
Bahkan, sang kakak menyetor modal paling besar, yakni sekitar Rp 300 juta. Sementara yang lain menyetor sekitar Rp 100 juta per orang.
Alhasil, terkumpullah ketika itu sekitar Rp 700 juta. "Kami memang memilih pendanaan secara bootstrap," kata pria yang akrab disapa Soegi ini.
Merasa punya dana cukup, Soegianto langsung menyewa ruang kantor, mendirikan perseroan terbatas (PT), merekrut pegawai, membuat website dan juga beriklan di koran. Karena itulah, uang habis cepat.
"Tahun 2012, dana habis. Pekerja yang tersisa hanya satu petugas administrasi dan seorang partner," imbuh Soegi.
Selain tergesa membelanjakan modal, Sedapur gagal lantaran bisnis ini tidak fokus. Selain mengurusi jual-beli makanan, Sedapur juga mesti menyediakan logistik untuk mengantarkan produknya.
Faktor lain yang kurang diperhitungkan terkait demand and supply. Cukup banyak ibu yang membuka lapak di Sedapur, tapi calon pembeli tidak kenal mereka dan tak tahu produk mereka.
Alhasil, demand pun tidak ada. Ketika itu, Soegi dan kawan-kawan juga belum paham soal search engine optimization (SEO).
Akhirnya setelah tak beroperasi sekitar setahun, pada Juli 2013, Sedapur resmi tutup.
Meski proyek ini gagal, Sedapur sempat memenangkan beberapa lomba. Di antaranya, Nokia Entreprenuer Fellowship dan Indonesia ICT Award (Inaicta).
"Uang hadiahnya baru cair setahun kemudian. Uang inilah yang dipakai untuk modal Dapurmasak," jelas Soegianto.
Lebih fokus
Belajar dari kesalahan dan kegagalan Sedapur, Soegi menerapkan strategi yang berbeda dalam mengembangkan Dapurmasak pada 2012. Alih-alih membuat e-commerce yang mengurusi banyak hal, Soegi hanya membuat platform berbagi resep masakan secara online.
"Setiap orang bisa berbagi, menyimpan catatan masak mereka," kata Soegi.
Selain itu, Dapurmasak menerapkan konsep UGC alias user generate contact. Dus, dari user untuk user.
Tidak seperti saat memulai Sedapur yang rada jor-joran soal membelanjakan modal, Dapurmasak lebih berhati-hati soal duit. Maklum, duitnya kali ini juga jauh lebih terbatas.
Mitra yang tersisa pun tinggal sang kakak. Maka, Soegi memulai startup baru ini dari garasi rumah. Saat itu, Soegi mengantongi uang hadiah dari Daily Social senilai US$ 15.000.
Mendirikan start-up di urusan seputar perut tetap jadi pilihan Soegianto. Sebab, ia meyakini, memasak bisa membuat orang lebih kaya, lebih sehat, dan lebih bahagia.
Lebih kaya tidak harus berkaitan dengan uang. Lebih kaya bisa berarti dalam hal pengalaman dan membagikannya.
Di Jepang, misalnya, keluarga petani mempunyai 20 cara untuk mengolah suatu bahan makanan. Namun, semua itu terkikis dan mulai hilang karena orang punya kebiasaan baru makan di restoran.
Nah, dengan Dapurmasak, orang bisa berbagi pengalaman memasak dan resep favoritnya.
Lebih sehat lantaran masakan ini disiapkan sendiri alias tidak pergi ke restoran yang kita tidak tahu bagaimana bahan makanan itu diproses. Lebih bahagia lantaran orang bisa membagikan masakannya dan membuat orang yang memakannya pun bahagia.
Dengan memasak sendiri, orang akan kembali makan bersama di meja makan. Di sana, akan terjadi percakapan. Percakapan ini bisa membahagiakan. Misalnya, ketika seorang anggota keluarga memuji hasil masakan sang ibu.
Soegianto berkaca pada pengalaman pribadinya. Saat menikmati masakan Ibu, meski sederhana, ia merasa masakan itu begitu lezat. Tak cuma dirinya merasa senang, Ibu pun merasa bahagia dan bangga.
Tradisi masak dan makan bersama itulah yang ingin ditebar kembali oleh Soegianto. Visinya, orang kembali ke dapur untuk memasak.
Semangat Soegi makin berkobar lantaran Februari 2012, sosok idola yang menjadi panutannya, Akimitsu Sano, datang ke Indonesia. Pria Jepang yang lebih dikenal dengan sebutan Aki Sano ini merupakan pendiri Cookpad, perusahaan yang menyediakan platform serupa di Jepang.
Pria ini diundang untuk menjadi pembicara di sebuah seminar seputar startup di Hotel Mid Plaza. "Kakak saya bilang, saya harus ikut seminar ini dan ketemu Aki Sano," tutur ayah dari Reuben Theofillus Soegianto dan Benjamin Theodorus Soegianto ini.
Pertemuan itu meninggalkan kesan yang mendalam buat Soegi. Di sana, ia pun sempat menunjukkan konsep Dapurmasak pada Aki Sano.
"Jadi dia tahu, kita copy habis-habisan Cookpad versi internasionalnya," kata Soegi.
Di sana, ia mendapati visi Cookpad yang sejalan dengan Dapurmasak, yakni make every cook fun. Memasak tidak cuma menyenangkan bagi pelakunya, tapi memasak juga secara tidak langsung akan membantu para petani.
Sebab, ketika ibu-ibu memasak, akan tercipta permintaan atau demand akan bahan-bahan pangan.
Semangatnya juga terpompa mendengar perjalanan Cookpad yang tak mudah untuk menggapai sukses. Lantaran tak mudah meyakinkan orang kembali membiasakan masak sendiri, untuk menghidupi situs berbagi resep ini, Aki Sano harus bekerja keras selama tujuh tahun untuk menghidupi start-up ini.
Bergabung dengan Cookpad
Tak jauh berbeda dengan idolanya itu, tak mudah bagi Soegianto mempopulerkan Dapurmasak ke masyarakat. Ia harus kerja keras dengan mendatangi teman, komunitas-komunitas masak dan cooking class.
Karena biaya minim, ia pun tak menggelar promosi atau iklan. "Benar-benar words of mouth," kata Soegianto.
Setelah mendengarkan sharing dari Aki Sano, Soegianto seperti terobsesi mendapatkan bimbingan dan pendanaan dari idolanya tersebut. Maka, ia pun mulai mengirimkan email demi email kepada Aki Sano.
Sayang, setelah begitu banyak email, Soegianto tidak menerima balasan. Anak kedua dari tiga bersaudara ini nyaris putus asa.
Apalagi sang kakak pun terus mendesak dirinya sebagai Chief Executive Officer (CEO) untuk mengambil keputusan. Sebab, ketika itu sudah ada tawaran pendanaan dari modal ventura yang lain.
Namun Soegi merasa tidak sreg membiarkan investor yang visinya mungkin tidak sama dengannya masuk ke dalam perusahaan yang ia rintis.
Dalam mengembangkan start-up, ada dua pilihan.
Pertama, mengejar pertumbuhan organik tanpa ada pendanaan dari pihak luar. Di sini, pendiri bisa belajar sendiri tanpa ada coach dan berpotensi gagal atau sukses.
Pilihan kedua, mencari funding atau pendanaan, sehingga biasanya akan ada coach, dan juga sejumlah persyaratan lain yang mungkin tidak sesuai dengan visi dan misi semula sang pendiri start-up. Karena itu, penting mencari penyuntik modal yang satu visi dan misi.
Karena itu pula, Soegianto bersikeras mendapat perhatian Aki Sano, yang menurutnya satu visi dan misi dengannya. Jawaban yang tak kunjung datang dan desakan dari sang kakak sempat membuatnya stres.
Sebab, ia pun punya tanggungjawab membayar pegawai sementara uang sudah nyaris tak ada. "Rambut saya sampai rontok," kenang Soegi.
Ia hampir menyerah dan akan menerima tawaran untuk mengembangkan platform online untuk sebuah perusahaan kosmetik. Ia merasa harus memiliki penghasilan memadai karena sebentar lagi akan jadi seorang ayah.
Namun, sang istri justru tak mendukung rencana ini. "Rasanya aneh, melihat kamu menawarkan kosmetik. Bukan kamu banget," ujar Soegi menirukan komentar sang istri.
Rupanya kesabaran dan keteguhan hatinya menuai hasil. Sekitar Agustus 2013, email balasan dari Aki Sano akhirnya datang. Dalam surat elektroniknya, Aki Sano bertanya, apa yang ia butuhkan: coach atau investasi? "Saya jawab, dua-duanya," kata Soegi.
Akhirnya, Dapurmasak mendapatkan investasi dari Aki Sano. Aki Sano rupanya sempat ragu, apakah orang Indonesia mau memasak sendiri makanannya. Sebab, ia pernah makan di warung, orang bisa membeli makanan dengan harga kurang dari US$ 1.
Tapi bak sebuah keajaiban, pada Lebaran 2013, Dapurmasak kebanjiran pengunjung. Akibatnya server sempat jatuh karena terlalu banyak diakses. Kunjungan ini bisa berarti, orang Indonesia memang masih mau repot memasak sendiri.
Ujungnya, pada Oktober 2013, Dapurmasak dibeli semua oleh Cookpad. Namanya pun berubah menjadi Cookpad Indonesia.
Soegianto tetap menjadi CEO-nya dengan dukungan 11 orang tim lokal. "Sama visi dengan sudut berbeda. So let's join them fully," kata Soegi.
Ketika bergabung, trafik di Dapurmasak berkisar 250.000 per bulan. Kini ada sekitar 8,3 juta unique user dengan 100 juta page view tiap bulan.
Adapun jumlah resep mencapai 100.000. Targetnya, Cookpad Indonesia punya 10 juta pengguna unik per bulan.
Kendati pengunjung terus meningkat, Cookpad tidak menghidupi bisnisnya dari iklan berbayar. "Kami menerapkan model bisnis yang lain, yakni premium subscriber yang bisa mengakses fitur search resep terbaik dengan cepat," kata Soegi.
Mei lalu, fitur ini diluncurkan di Indonesia dengan harga Rp 39.000 per bulan. Sementara di Jepang, jumlah premium subscriber telah mencapai 1 juta pengguna.
http://ift.tt/2eMfyHG